Pengakuan manusia

Entah mana yang lebih sakit antara ditinggal bapak atau ibu sebab aku merasakan salah satu. Tidak dua, beruntung. Dari sakit yang sebenarnya cukup menyebalkan, aku ingin mengambil dan merasa beruntung sebab masih ada salah satu di antara dua, pergi satu di antara banyak. Dan selalu, pergi satu bukan berarti yang lain turut serta, pergi satu bukan berarti tidak lagi ada yang datang dan tinggal. Entah berupa manusia, sifat, sikap, kedewasaan, kemampuan, kualitas diri, rasa tenang, nyaman, bertumbuh, atau apa lagi. Dan, pergi, bukan berarti tidak ada, apalagi tidak punya. Perihal pergi, lalu kehilangan, manusia sudah tentu handal. Sebab mereka, dan aku tentunya, selalu merasa "punya" atas apa dan siapa yang datang, yang ada, lalu ditambah lagi kebiasaan dan kebersamaan, dalam jangka waktu yang panjang, dalam momen-momen menyenangkan dan mengharukan, dalam banyak hal. Lalu saat semua sudah habis masanya, manusia merasa kehilangan, padahal sebenarnya, apakah ia benar-benar memang punya?

Beberapa orang, sering merasa paling. Dan itu menyebalkan padahal niat hati ingin membersamai tenang. Tapi, sebab sedih adalah sedih. Sebab semua juga punya lukanya masing-masing. Dan keengganan, atau lebih tepatnya tidak punya energi cukup untuk menjelaskan, mencari alibi, alasan, ba bi bu was wes wos ke sana ke mari, cukup payah dan lelah.

Padahal, diam-diam, ketidakmampuan manusia sungguh ada dan nyata. Kesedihan diam-diam membersamai di malam-malam hening, atau bersama suara jam yang justru terdengar lebih nyaring, tapi tetap saja kesedihan dan kesepian itu, perasaan ditinggalkan dan segala kenangan itu, lebih berisik, jauh. 

People love perfection, that's why everybody want to seems to be okay everyday; katanya. Sebab itu, kali ini, aku ingin mengakui ketidaksempurnaan, kelemahan, rasa sakit, sedih berkepanjangan, pikiran dan kepala yang riung riuh.


Salam, peluk jauh.

Komentar

Postingan Populer