Rumah (Bapak dan putrinya)


Hari tidak terlalu siang. Pelataran masjid depan rumah saat itu sudah rata oleh paving, sepertinya. Ah, cerita ini sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Tentang perempuan kecil yang tengah belajar bersepeda. Didampingi sang bapak. Ia kayuh sepeda itu, dengan tangan sang bapak memegangi bagian belakang sepeda. Memberikan keseimbangan, memastikan putri kecilnya tidak jatuh. Ia dampingi putri kecilnya belajar bersepeda, memutari halaman masjid depan rumah. Sembari berlari kecil dan membungkuk, menyesuaikan laju sepeda putrinya. Berhasil. Perempuan kecil tersebut berhasil menaiki sepedanya. Tanpa bantuan bapak. Tanpa roda bantuan di belakang, satupun tidak. Ia tertawa bahagia sembari terus mengayuh sepedanya mengelilingi halaman masjid. Sang bapak berdiri, melihat putrinya sembari tersenyum.
Ada juga cerita, mengenai tangan kreatif bapak. Pagi itu, ibu tengah memasak di dapur. Di sebelah dapur, papan tulis hitam berdiri, diapit dipan dan tembok rumah. Sembari memangku putri kecilnya, bapak mengajari putrinya menggambar. Banyak yang bapak gambar, becak, sepeda, kuda, dan sebagainya. Digambar dengan indah. Putrinya mencoba menggambar yang sama. Ah, naas, tangannya tak sebagus tangan bapaknya. Gambarnya justru tak seperti sepeda, hanya berupa dua lingkaran yang dikaitkan dengan satu garis diatasnya. Tapi, bapak tidak menyerah. Ia mengajari putrinya menggambar dengan kapur milik ibu. Ia pegang tangan putrinya, ia gerakkan tangan putrinya sesuai dengan gambar yang seharusnya. Tapi, tangan itu kaku. Tangan perempuan kecil itu kaku. Dan jadilah, gambarnya berupa garis-garis lengkung tak begitu beraturan. Ah, sampai sekarang, perempuan itu tak bisa menggambar seperti bapaknya.
Ada juga cerita, mengenai bapak yang suka mengambilkan nasi untuk putrinya. Jika nasinya masih panas, bapak akan mengipasi nasi tersebut menggunakan piring plastik. Atau meniup nasi tersebut agar lekas dingin dan bisa segera disantap putrinya. Agar ia tidak terlambat sekolah.
Saat malam, jika perempuan itu merasa belum bisa segera tidur di kamarnya, ia pindah ke sebelah bapak. Merengek karena tidak bisa tidur. Meminta bapak mengusap puncak kepalanya, sampai ia tertidur.
Bapak tidak banyak bicara. Bapak lebih sering diam. Tetapi, gelagatnya selalu menunjukkan kasih sayang teramat. Jangan diceritakan. Tak akan mampu dituliskan seberapa besar kasih sayang yang dimilikinya.
Bapak tidak bekerja. Bapak sudah sakit sedari kecil. Bapak ketergantungan pada obat dokter. Sampai jika sehari saja tidak meminum obat miliknya, asmanya kambuh. Bapak juga pernah di rawat inap di rumah sakit. Tapi meski begitu, Bapak tidak pernah absen membersihkan masjid. Bapak terbiasa membersihkan masjid sedari remaja. Sampai ketika sudah menikah hal itu tetap ia lakukan. Seolah menjadi tanggung jawab bagi Bapak.
Ibu adalah satu-satunya yang menyukai pete. Bapak dan anak perempuannya tidak. Jika Ibu sudah memasak pete, maka hanya Ibu yang memakan. Alhasil, Ibu memasak beberapa menu berbeda untuk orang-orang tersayangnya. Kemudian, ketika Ibu keluar dari kamar mandi dan Bapak hendak ke kamar mandi, Bapak selalu bicara seperti ini, "Duh, bau pete nyebar di kamar mandi". Kemudian putri perempuannya menyahut, "Ibu abis makan pete pak". Ibu yang mendengar itu hanya tertawa kecil.
Perlahan, putrinya beranjak remaja.
Beberapa tahun setelahnya, ketika itu putrinya sudah memasuki SMA. Semesteran pertama. Hari itu liburan semester hampir usai. Esok sudah harus kembali bersekolah. Tapi, Bapak sakit. Sudah berhari-hari sebelumnya. Bapak sakit, sampai tidak turun dari kasur. Ibu yang menyiapkan segala kebutuhan Bapak. Mulai dari makan, minum, wudlu, sholat, dan sebagainya.
Bapak bukan orang yang mudah makan. Tidak seperti Ibu, yang makan apapun tidak masalah. Tapi bukan berarti jika Ibu memasak makanan yang tidak Bapak suka lalu Bapak enggan makan. Tidak begitu. Hanya saja, Bapak lebih suka dengan makanan yang memang Bapak suka, misalnya tumis tempe kecap. Makanan ini juga menjadi makanan kesukaan putrinya. Biasanya, jika tengah sakit Bapak lebih sedikit makan. Tidak seperti biasanya, yang selalu dengan porsi terbanyak. Tapi, saat itu berbeda. Meski sakit, Bapak tetap makan dengan porsi biasanya. Bahkan Bapak minta dibuatkan pisang goreng pada Ibu.
Malam Senin. Selepas sholat Maghrib imam masjid meminta doa kepada seluruh jamaah yang ada di masjid saat itu, untuk mendoakan Bapak agar lekas sembuh. Kebiasaan sejak dulu, jika ada yang sakit, selalu diumumkan dan dimintakan doa pada jamaah masjid, agar lekas pulih kembali. Orang-orang yang mendengar kabar bahwa Bapak sakit, terkejut dan berbisik satu sama lain. Bertanya-tanya sakit yang di derita Bapak. Hampir semua orang tahu, Bapak sudah sakit sejak kecil. Tapi, ketika orang sakit dan dimintakan doa pada jamaah masjid, berarti sakit yang di derita sudah parah. Selepas sholat Maghrib orang-orang datang ke rumah. Menjenguk dan melihat kondisi Bapak. Tidak lupa mendoakan Bapak agar lekas sehat.
Bagaimana putrinya?
Ia turut mendoakan. Dan jengkel kepada orang-orang. Dalam hatinya, ia menganggap orang-orang alay. Padahal Bapak baik-baik saja. Bapak akan sembuh seperti sedia kala. Akan sehat dan menghibur putrinya seperti biasa. Tidak aka nada yang berubah. Ia yakin akan hal itu. Teramat.
Tapi, detik selanjutnya memang bukan kuasa kita. Kita hanya manusia, yang tidak bisa apa-apa jika Tuhan telah berkehendak. Ternyata, semalaman Bapak tidak baik-baik saja. Semalaman Ibu tidak bisa tidur. Kerabat bergantian datang mendoakan dan mengaji untuk Bapak. Juga putri perempuannya. Ia tidak menangis, menguatkan hati dan meyakinkan diri sendiri, semua akan tetap baik saja. Semalaman, Ibu mengaji untuk Bapak, untuk kesehatan Bapak. Menghatamkan Al-Qur’an dibantu putrinya..
Pukul 3 pagi, Ibu membangunkan putrinya agar menggantikannya mengaji untuk Bapak. Adzan shubuh berkumandang. Selepas jamaah di masjid, beberapa orang datang untuk kembali melihat Bapak dan bergantian mengaji untuk Bapak.
Hari senin sekitar pukul 5 pagi. Mulanya, perempuan tersebut berdiri di sebelah Bapak, dikerumuni beberapa orang di seblahnya. Tiba-tiba, salah satu adik dari Ibu menarik lengannya, membawanya ke ruang TV. Ia duduk sembari menangis, dan adik lelakinya terdiam bersila di depannya, lebih dulu dibawa menjauh dari Bapak. Dia tidak menangis seperti kakak perempuannya. Tapi menunduk dengan dalam.
Suara soundsystem masjid berbunyi. Pengumuman duka.
Kemudian, seseorang membawa perempuan kekamarnya. Perempuan tersebut tidak tahu siapa tepatnya. Ia tidak lagi tahu bagaimana kondisi Ibu dan adik lelakinya. Ia terisak ditemani kakak perempuan Ibu. Seorang perempuan datang. Mulanya, ia tidak tahu siapa. Seseorang tersebut terduduk, lalu memeluknya. Memeluk perempuan yang sedang tidak baik-baik saja, sembari berkata, “Kamu kuat, aku yakin kamu kuat, kamu mampu”, katanya. Kalimatnya sederhana, tapi berhasil mengubrak-abrik seluruh emosi perempuan tersebut. Ia makin terisak dalam peluknya. Yang ia sadari saat itu, ini yang ia perlukan. Perempuan tersebut butuh peluk, perlu dipeluk, dikuatkan, ditemani.
Sejenak Ia membaik. Ia menghampiri Bapak. Ia cium kening Bapak. Tidak lama, selepas itu Ia kembali ke kamar. Kemudian Bapak dimandikan. Perempuan itu menyaksikan, tidak turut memandikan. Ketika akan di sholatkan, Ibu memanggil putri perempuannya. Mengajaknya sholat untuk Bapak. Hari itu, perempuan tersebut ingat bisik-bisik orang-orang. “Putrinya ikut sholat untuk Bapaknya”. Dengan jelas Ia mendengar kalimat itu, hanya saja tidak tahu siapa tepatnya yang berkata.
Hari pertama, kedua, rumah masih ramai. Orang-orang berdatangan berkunjung dan mendoakan, saudara-saudara Ibu menginap di rumah. Hari-hari itu, tidak terlalu buruk. Banyak orang datang dan menghibur. Sampai selepas tujuh hari setelahnya. Orang-orang kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Tidak ada lagi orang-orang datang berkunjung. Saudara-saudara Ibu juga sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Dan barulah, sepi sangat mencekat. Tempat-tempat yang biasanya ditempati Bapak terlihat kurang. Tidak ada lagi suara radio saat pagi dan sore hari. Tidak ada lagi sepasang sandal di masjid saat pagi.
Kehilangan tidak pernah semudah itu. Mengikhlaskan tidak bisa secepat itu. Hari-hari harus tetap terjalani dengan baik. Mimpi dan cita-cita harus tetap diusahakan.
Bahkan setelah beberapa tahun berlalu, ketika putrinya merindukannya, matanya masih basah, masih saja seperti itu. Bahkan sampai usianya hampir genap 20 tahun. Putrinya beranjak dewasa, katanya ia jatuh cinta, patah hati, dan sewajarnya perempuan kebanyakan.
Perpisahan dan kehilangan tidak pernah bisa membuat manusia baik-baik saja. Tapi bukan berarti kemudian harus berlarut dalam tangis. Hari-hari harus tetap berjalan, seperti sewajarnya, seperti biasanya. Kehidupan tidak boleh berhenti sampai sini. Ada banyak hal yang harus diselesaikan, ada banyak pekerjaan yang harus usai tepat waktu. Sulit bukan berarti tidak mampu. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Jadi, apapun yang terjadi, teruslah berjalan.
Selamat genap usia 13 tahun, untuk adik laki-laki, anak laki-laki Bapak. Jadi laki-laki hebat ya, yang mempunyai sabar seperti Bapak.


Jember, 04 Mei 2020
21:21 WIB

Komentar

Postingan Populer