Keliru dan tumbuh

Halo perkenalkan aku, ……. Eh maaf engga jadi perkenalan nama deh, hehe. Tapi, perkenalkan aku adalah salah satu dari entah berapa banyak manusia yang pernah dengan sengaja mengganti namanya sendiri (entah nama panggilan atau nama lengkap). Untuk apa?

Begini,

Kelas 3 SMA.

Senang sekali rasanya melihat beberapa teman perempuanku yang anggun, tidak banyak tingkah, kalem katanya. Representasi perempuan “seutuhnya”

Sampai ketika menjelang ke jenjang pendidikan setelahnya, sengaja diri mengganti nama panggilan dari nama lengkap yang sudah ada, mengganti yang sekiranya nampak lebing anggun, lebih perempuan. Nama  itu ada, sampai hamper empat tahun. Dan selama nama itu melekat, rupa-rupanya diri tidak sepenuhnya nyaman. Bukan. Bukan tidak nyaman dengan nama panggilan yang memang sudah ada dari nama lengkap. Tapi lebih ke, ternyata aku tidak begitu nyaman menjadi perempuan yang tidak banyak tingkah.

Meskipun, pada beberapa situasi dan kondisi, diri tidak diberi tempat untuk bergerak, diri tidak punya banyak kesemepatan untuk benar-benar nyaman menjadi diri sendiri. Nama panggilan tersebut ternyata cukup mengikat di kepala. Tentunya bersama dengan keinginan dan prasangka bahwa perempuan seutuhnya adalah yang kalem, yang patuh, yang tidak banyak tingkah. Sebelumnya, bukan berarti setiap perempuan yang seperti itu tidak baik. Tentu bukan. Pun perempuan yang tida serupa itu juga bukan berarti tidak baik. Kata baik tidak sesederhana hitam dan putih saja, sebab mata dan kepala punya kemampuan untuk memandang dari banyak arah. Kembali mengenai perempuan dan keutuhannya. Menjelang empat tahun nama itu melekat, di sela-sela kegiatan setelah membaca buku, aku jadi paham bahwa, perempuan tetaplah perempuan. Tidak terbatas ruang dan situasi, tidak hanya sebatas ia dalam rupa dan kebiasaan yang seperti apa. Ia tetaplah perempuan.

Perempuan, tidak terbatas pada yang hanya memakai dress, rok, gamis, tidak sebatas pada pakaian yang berwarna girly dan feminim, tidak terbatas pada kemampuannya di dapur, tidak terbatas pada kemampuannya menyayangi anak-anak. Tapi lebih dari itu. Lebih sempurna. Keutuhan perempuan juga terletak pada bagaimana ia mampu menopang sepasang kakinya sendiri, memikul beban berat di kedua pundaknya, mampu bertahan dengan segala tuntutan masyarakat yang seringkali tidak masuk akal. Yang terbiasa ke mana-mana sendiri, adalah perempuan. Yang mampu melakukan banyak hal sendirian adalah perempuan. Yang mampu menyetir sembari membaca gmaps juga perempuan. Yang mampu mengerjakan banyak hal sekaligus juga perempuan.

Diri menyadari tentang pola pikir yang sempit pada usia 18 tahun ketika itu. Bentuk menerima bahwa diri pernah keliru, pernah terlalu memaksa untuk mengikuti standar yang diberikan oleh masyarakat. Meskipun, anehnya adalah pola pikir tersebut masuk ke dalam diri, ditujukan ke dalam diri sendiri. Bersikap keras pada diri bahwa perempuan adalah yang begini dan yang begitu. Memaksa dan membatasi ruang gerak diri. Tapi selalu terkagum-kagum melihat betapa hebat perempuan yang mampu menopang dirinya sendiri, dengan kedua kakinya, dengan dirinya seutuhnya.

Salah kemarin, jadi pelajaran. Pelajaran untuk memahami sesama perempuan, juga sesama manusia. Tentang kelirunya, lalu memahami dan kembali.

Komentar

Postingan Populer